Selasa, 28 Januari 2014

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSI

Sejarah, Pengertian dan Implementasinya, dalam Perspektif Pendidikan  Khusus

  1. Sejarah Pendidikan Inklusif
           Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia,Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an, Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok
yang menghasilkan deklarasi "education for all". Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.
         Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensipendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan "the Salamanca statement on inclusive education" Di Inggris pun tahun 1991 mulai diperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
          Di Indonesia sejarah pendidikan inklusi dapat diamati dari upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan layanan pendidikan untuk menuntaskan wajib belaja pendidikan dasar sembilan tahun yang berkualitas bagi semua anak di Idonesia. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.002/U/1986 menunjukan usaha pengembangan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif yang melayani Penuntasan Wajib Belajar bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus. Kepmen tersebut sekaligus juga sebagai implementasi pernyataan untuk mencerdaskan bangsa yang selaras dengan adanya pesan dari Pendidikan Untuk Semua (Education for all), sabagai satu usaha meningkatkan partisipasi anak-anak bersekolah, (pemerataan kesempatan pendidikan) termasuk anak berkebutuhan khusus. Juga, sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1 pun dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki hambatan, kelainan dan/atau memiliki kemampuan potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam layanan pendidikan. Secara tegas, Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal pendidikan Inklusif juga menekankan bahwa disetiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sekurang-kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu dijenjang SD,SMP,SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah.
          Terkait dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, pemerintah Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa anak benar-benar memperoleh pendidikan. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru muali tahun 2000 dimunculkan kembali  dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan pendidikan inklusif.


2. Macam Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
          Pada dasarnya, penyelenggaraan pendidikan untuk mewadahi anak bersekolah terbagi atas tiga jenis, yakni pendidikan segregasi, pendidikan integratif, dan pendidikan inklusif.
Secara sederhana, ketiga jenis pendidikan tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut :

a. Pendidikan Segregasi 
          Pendidikan Segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak  tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB,SDLB,SMPLB, dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan  yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

b. Pendidikan Terpadu/Integratif
              Pendidikan terpadu/integratif adalah sekolah yamg memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa ada perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidikan dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang disyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul dilingkungan sosial yang luas dan wajar.
           Sistem pendidikan integratif/ penyelenggaraan program pendidikan terpadu bermula dengan keluarnya surat keputusan Mendikbud No.002/U/1986 tanggal 4 Januari 1986 tentang program pendidikan terpadu bagi anak cacat. Keputusan itu disusul dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen No.6718/C/I/89 tanggal 15 Juli 1989 tentang perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah umum. Kemudian SK Mendikbud No.0491/U/1992 mempertegas tentang pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di jalur pendidikan sekolah. Melalui program pendidikan terpadu ini para peserta didik dimungkinkan untuk saling menyesuikan diri, saling belajar tentang sikap, perilaku dan ketrampilan, saling berimitasi dan mengidentifikasi, menghilangkan sifat menyendiri, menimbulkan sikap saling percaya, menimbulkan sikap saling percaya, meningkatkan motivasi untuk belajar dan meningkatkan harkat serta harga diri. Selain surat keputusan yang telah diuraikan di atas, juga ada surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan intelegensi normal atau di atas rata-rata.

Pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia terselenggara dengan sistem:

  1. Belajar di kelas biasa dengan guru kelas. Sekarang ini banyak siswa tunanetra yang mendapatkan program pelayanan pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa belajar di kelas biasa dan ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi.
  2. Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus. Siswa tunanetra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pendamping khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.
  3. Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung. Guru kunjung biasanya menangani siswa tuna netra yang belajar pada beberapa sekolah. Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang studi.
  4. Belajar di sekolah umum dengan kelas khusus siswa tunanetra belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah dengan siswa normal lainnya).
  5. Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan. Siswa tunanetra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama
           Di beberapa daerah di Indonesia, terdapat kecenderungan sekolah umum yang tidak mau menerima siswa berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah tersebut dengan alasan tidak adanya surat keputusan dari pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah tersebut harus menerima siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Sesuai keputusan Kepala Kanwil Depdiknas Propinsi DKI Jakarta No.31/101.B2/LL/1999 tanggal 23 April 1999 ditunjuklah beberapa sekolah umum di DKI Jakarta menjadi sekolah terpadu. Pada kenyataannya, banyak Kepala Sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah terpadu merasa keberatan dengan penunjukan tersebut. Alasan yang dikemukakan yakni sekolah mereka tidak akan mendapatkan nilai plus dengan kehadiran siswa yang berkebutuhan khusus di sekolah mereka. Kepala Sekolah juga merasa bahwa dengan penunjukkan tersebutakan menurunkan nilai kinerja sekolah, sementara nilai kinerja sekolah tersebut yang diperoleh melalui nilai akademis siswa merupakan dasar bagi penilaian akreditasi sekolah yang akan dilaksanakan mulai tahun ajaran 2002/2003 di seluruh sekolah negeri di Jakarta.

         Disisi lain, penunjukan sekolah umum menjadi sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi anak berkebutuhan khusus kepada kepala sekolah beserta staf dan gurunya. Selain itu prasarana dan sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga tidak disediakan oleh pemerintah. Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya ditujukan untuk SLTP dan SMU. Sedangkan untuk jenjang sekolah dasar belum ada penunjukan untuk sekolah terpadu. Masih banyak anggapan dibenak guru-guru di sekolah umum yang menyatakan bahwa mengajar anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah sesuatu yang remeh. Sehingga pihak sekolah akan merasa menjadi rendah apabila sekolah dimana tempat mereka mengajar dijadikan sekolah terpadu. Surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan intelligensi normal atau di atas rata-rata menjadi kendala pula bagi pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia. Sebab dengan surat keputusan tersebut fihak sekolah umum dapat menolak siswa berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi dibawah rata-rata, dengan demikian pelaksanaan pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas hanya bagi siswa yang sangat pandai saja.

3. Pendidikan Inklusif
              Pendidikan inklusif merupakan sebuah proses dalam upaya merespon kebutuhan semua peserta didik yang beragam. Berbagai upaya dapat dilakukan melalui perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik sesuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusif  berawal dari pendidikan untuk semua tidak diskriminatif  terhadap siapapun termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus bersifat temporer (sementara) maupun permanen sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan khusus.




           

Tidak ada komentar:

obah ojo owah

 obah ojo owah tiga kata bahasa jawa tersirat berbagai makna. obah dimaksudkan bergerak. ojo bisa larangan, rambu2 waspada dan himbauan. owa...